Ujian Berat Pemimpin Indonesia Pasca Pemilu 2014

Di tengah maraknya warna-warni bendera kontestan pemilu legislatif, ada satu cerita sedih dari ujung Barat tanah air Indonesia. Tepatnya ibukota Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Banda Aceh. Kisah hampa seorang gadis Raisa Kamila yang menolak jadi Indonesia. Dengan bahasa yang sangat tertata, ia bercerita betapa Indonesia yang dilihat di layar kaca, dibaca dalam beragam buku sejarah, didengar dari celoteh teman-teman sebaya dan entah apa lagi, tak membuatnya merasa jatuh cinta kepada tanah lahirnya. Nada kecewa begitu dalam, seolah tak ada harapan lagi untuk menjadi Indonesia. Pihak yang menjadi alasan kekecewaannya adalah pemerintah yang tak mampu menyejahterakan rakyatnya. 

 

Jika pandangan seorang gadis seperti Raisa mungkin masih dianggap emosional, maka gambaran anggota Dewan Perwakilan Daerah yang juga istri Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas dengan isi serupa tentu tak bisa dianggap remeh. Dalam satu alinea, beliau menuturkan hal sebagai berikut:

” Masyarakat di hampir seluruh wilayah negeri ini, terutama di daerah Timur dan Tengah, apalagi yang berada di sisi terdepan dan perbatasan, umumnya tidak merasakan jangkauan tangan pemerintah. Apalagi perhatian presiden. Sampai-sampai, sebagian besar penduduk mengatakan presiden mungkin lebih sibuk dengan dirinya sendiri atau hal besar di Jakarta dan mereka telah terbiasa oleh hal itu”.

 

Selain dua pandangan yang telah menjadi rahasia umum di atas, ada lagi sebuah hasil analisis dari mantan Kepala Badan Intelejen Strategis (BaIS) yang dengan gamblang menggambarkan betapa ringkihnya praktik hukum di Indonesia. Akibat dari ketidak-tegasan Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan fungsinya, semua proses dan hasil Pemilu baik legislatif maupun presiden batal demi UUD 1945. Kutipan panjangnya adalah :

 

Dalam sumpah prajurit di hadapan Tuhan, dinyatakan bahwa setiap anggota TNI akan setia kepada pemerintah yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta tunduk kepada hukum. Pasal 7 ayat 2 UU Nomor 34/2004 tentang TNI menyebutkan, “Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara”.

 

Dengan demikian, secara jelas masyarakat Indonesia dapat melihat bahwa pelaksanaan Pemilu 2014, apabila masih menggunakan Undang-Undang Nomor 42/2008, hasilnya inkonstitusional atau tidak berdasarkan UUD 1945. Pihak-pihak yang menang, baik Presiden, Wakil Presiden, maupun anggota DPR, semuanya tidak sah karena menggunakan produk hukum yang bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

 

Di sisi lain, dari aspek hukum humaniter, pemberontakan bersenjata atau chaos yang mengarah ke perang saudara, karena menggunakan berbagai jenis senjata, masuk kategori konflik bersenjata internal, di mana rezim hukum yang berlaku adalah rezim hukum humaniter. Ini artinya, kekuasaan penuh berada di tangan militer. Dengan demikian, bila hal ini terjadi di Indonesia, kewenangan dan kewajiban untuk bertindak mengatasi chaos berada di tangan TNI. Bila TNI tidak bertindak, pemimpin TNI (dalam hal ini Panglima) dapat dituntut sebagai pelanggar HAM karena melakukan pembiaran yang dapat mengakibatkan jatuhnya korban. Karena itu, TNI punya alasan kuat untuk melakukan kudeta konstitusional atas hasil Pemilu 2014

 

Kondisi faktual yang berlaku selama masa reformasi ini banyak memberi gambaran yang sangat jelas bahwa lembaga legislatif di semua tingkat kewilayahan seringkali menumbuhkan bibit perpecahan horisontal maupun vertikal. Cara atau praktik politik sekterian yang mendulukan kepentingan kelompok atau golongan selalu dipertontonkan dalam masa-masa pemilu seperti sekarang ini. Bahkan, banyak usaha melanggar hukum yang sengaja dihadirkan saat-saat kampanye legislatif maupun presiden dan kepala daerah. Misalnya melanggar aturan lalu lintas, melakukan perusakan lingkungan dengan memasang alat peraga kampanye di pepohonan dan sarana umum dan masih banyak contoh lain yang menunjukkan bahwa kepatuhan terhadap hukum di masa kampanye cenderung sangat rendah.

 

Gerakan reformasi yang seharusnya merupakan alasan kuat untuk mengembalikan posisi negara yang mampu melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia sesuai amanat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 akhirnya tak lebih sebagai wahana balas dendam. Praktik Ken Arok-isme yang berlumur darah justru dihidupkan lagi dari Senayan. Rasa tanggung jawab atas keutuhan negara Republik Indonesia tak lagi menjadi dasar berpijak dalam mengambil berbagai keputusan politik. Hal serupa juga terjadi di pemerintahan yang dikuasai oleh sekte-sekte politik. Akibatnya, cerita yang digambarkan oleh Raisa dan GKR Hemas dianggap angin lalu. 

 

Wajar sekali mantan Kepala BaIS memberi peringatan keras akan potensi pengambil-alihan paksa secara militer oleh TNI yang memiliki legitimasi kuat atas ancaman integritas negara-bangsa Indonesia. Dan jika ini yang terjadi, bukan hanya gerakan masyarakat madani (sipil) yang selama ini berusaha kuat agar tidak terjadi pengulangan atas kekuasan negara di tangan militer  mengutuk para politisi di DPR dan semua partai politik sebagai penghianat bangsa Indonesia. Tetapi segenap warga, khususnya yang selama ini merasa dianak-tirikan oleh beragam sebab. 

 

Pemilu kali ini bukan lagi ajang yang tepat untuk mengumbar syahwat politik seperti periode sebelumnya. Apatisme dan sinisme publik yang cenderung memuncak dalam beberapa tahun terakhir atas perilaku congkak, pongah dan biadab karena tak lagi mengindahkan aturan hukum positif dan khususnya etika bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sangat mungkin mencapai titik nadirnya pada pemilu kali ini. Masyarakat tak lagi bisa dibohongi dengan iklan-iklan politik yang narsistik dan memuakkan. Apalagi dengan iming-iming uang receh 10 – 100 ribu rupiah.     

 

 

Ancaman integritas kebangsaan kita sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya adalah akibat praktik politik sektarian yang merajalela di semua lembaga negara. Sistem politik yang dibangun dan dilaksanakan pasca 1998 semakin menjauhkan dari semangat kemerdekaan Indonesia yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Selain korupsi yang telah merebak ke segala sisi kehidupan dan berdampak negatif yang lebih luas serta strategis, banyak upaya sistematis lain yang nampaknya baru disadari setelah tingkat kerusakannya sangat tinggi. Wajar jika seorang Djuyoto Suntani meramalkan Indonesia akan pecah menjadi 17 bagian wilayah pada tahun 2015, apapun sebutannya. Gejalanya memang sudah nampak dan cenderung menguat.

 

Sebenarnya potensi disintegritas nasional telah berlangsung sejak awal kemerdekaan. Di masa revolusi, usaha kudeta pernah coba dilakukan oleh Batalyon 10 di ibukota RI saat itu, Yogyakarta. Beberapa saat kemudian muncul pemberontakan PKI di Madiun 1948, Angkatan Perang Ratu Adil di Sulawesi serta DI/TII di Jawa Barat dan sebagainya. Semua percobaan kudeta tadi gagal karena masih bisa diatasi dengan semangat revolusi kemerdekaan yang menyala. Sayangnya, ketika Indonesia mendapat kesempatan memperbaiki dirinya karena “ketiban rejeki” minyak bumi, para pemimpin saat itu (Orde Baru) justru tengah asyik dengan dirinya. Ketahanan nasional kita yang dibangun dengan fondasi kebinekaan justru dieliminasi dengan pendekatan militeristik yang melemahkan sendi-sendi dasar berkehidupan kebangsaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di ujung Barat Indonesia padam karena dihantam tsunami 2004. Sementara itu, Organisasi Papua Merdeka di Ujung Timur justru masih menyala sampai sekarang. 

    

Masalah ketahanan nasional di masa reformasi justru kian dilemahkan oleh para penerima amanat. Yakni partai-partai politik yang lahir dari banyak peristiwa berdarah: Sabtu Kelabu (27 Juli 1995) di sekitar kantor pusat DPP PDI, Tragedi Trisakti serta Semanggi I dan II. Disebut hanya sebagai pegantian baju karena sebenarnya dilakukan para pemain lama yang berganti baju warna-warni. Tak ubahnya bunglon yang hidup dari benalu. 

 

Akibat terbesar dari praktik politik sektarian yang menghebat pada dasawarsa terakhir, semua unsur utama ketahanan nasional Indonesia kian melemah. Ketahanan ideologi negara yang berdasar Pancasila berusaha sekuat tenaga ingin diganti dengan ideologi yang mengatasnamakan agama oleh PKS dengan menyebar isu pemberlakuan kembali Piagam Jakarta, misalnya. Ketika isu ini tak mendapat respon positif dari umat muslim pada umumnya, mereka berubah haluan jadi nasionalis dengan menggandeng paduan suara kampanye PKS dari gereja Ende ??? Yang lebih hebat tentunya sikap koepig ( ndableg /tambeng – Jawa) seorang Ansory Siregar yang masih bersikukuh menjegal #RUUKepalangmerahan dengan terus berupaya memasukkan hal-hal yang bertentangan dengan tatanan (konstruksi) hukum nasional dan etika pergaulan internasional.